THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 08 Maret 2009

PERPINDAHAN KUTUB MAGNETIK BUMI

Tidak ada seorangpun yang merasakan, melihat atau menyadari bahwa kutub magnetik Bumi terus berpindah dengan cepat. Tidak juga jarum kompas, yang tetap menunjuk ke arah utara. Namun penelitian para ahli geofisika menunjukan, dinamika di inti Bumi menyebabkan pindahnya kutub magnetik Bumi lebih ke utara. Di antara inti Bumi yang cair dan panas, serta kerak Bumi yang dingin, terjadi gerakan konveksi panas terus menerus. Rotasi Bumi menyebabkan pergerakan panas itu membentuk semacam pusaran. Perubahan pada rotasi Bumi, menyebabkan pindahnya kutub magnetik tsb.
Volker Haak peneliti dari pusat penelitian kebumian di Potsdam Jerman-GFZ, melaporkan, kutub magnetik Bumi bergerak dari Kanada ke arah Rusia. Kecepatan pergerakannya dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat, dari rata-rata 10 kilometer per tahun, menjadi 50 kilometer per tahunnya. Jika kecepatan itu tetap konstan, dalam waktu 50 tahun, kutub magnetik Bumi akan pindah sampai ke Siberia. Pengamatan menunjukan sejak tahun 1.600 kutub magnetik Bumi telah berpindah beberapa kali.
Perpindahan kutub magnetik Bumi, bukanlah fenomena luar biasa. Penelitian para ahli geofisika terhadap arah megnetisme pada batuan menunjukan, rata-rata setiap 500.000 tahun sekali medan magnet Bumi berubah arah. Perubahan kutub magnetik terakhir, terjadi sekitar 750.000 tahun lalu. Perubahan kutub magnetik Bumi, tidak berdampak apapun bagi Bumi itu sendiri. Akan tetapi di zaman teknik canggih seperti saat ini, dampaknya amat besar pada umat manusia. Jika dalam pergerakannya, medan magnet yang melindungi Bumi menghilang, walaupun dalam waktu singkat, dampaknya akan sangat terasa.
Ketika medan magnet menghilang, Bumi kehilangan pelindung dari serangan angin matahari. Pancaran partikel ter-ionisasi akan menembus jauh ke bawah atmosfir Bumi. Saklar-saklar berukuran mikro atau nano dalam chips komputer akan terpengaruh. Instrumen pada pesawat terbang atau satelit menjadi kacau. Juga jaringan pemasok enegi dan informasi akan terganggu berat. Kedengarannya seperti cerita fiksi ilmiah, akan tetapi semuanya nyata. Manusia sudah memasuki zaman teknologi, dimana gangguan dari luar angkasa akan sangat berpengaruh.
Selain itu, meningkatnya kadar pancaran kosmis dapat mengancam keberadaan lapisan ozon di atmosfir. Akibatnya dapat terbentuk lapisan awan tebal. Iklim global akan mengalami perubahan dan kutub utara semakin mendingin. Tidak tertutup kemungkinan, juga kasus kanker kulit meningkat. Sebuah skenario bencana yang mengerikan. Akan tetapi perubahan iklim dan meningkatnya pancaran kosmis, tidak berlaku dalam waktu singkat dalam ukuran manusia. Fenomena pertukaran kutub magnetik Bumi, biasanya berlangsung dalam waktu 1000 tahun atau lebih, demikian laporan pusat penelitian kebumian di Potsdam. Namun berdasarkan ukuran waktu Bumi rentang waktu 1000 tahun memang relatif singkat.
Walaupun demikian, di beberapa kawasan di Bumi, perubahan kutub magnetik Bumi sudah terasa dampaknya. Misalnya pada ketinggian di atas 10.000 meter di atas kawasan Atlantik selatan, dosis pancaran sinar kosmisnya ribuan kali lebih tinggi dibanding kawasan udara di Asia. Penghuni stasiun ruang angkasa internasional ISS, terpapar pancaran partikel terionisasi sekitar 90 persen dari dosis aman, pada saat satelitnya melewati kawasan Atlantik selatan. Padahal dalam satu hari, ISS hanya melintasi kawasan tsb hanya selama 10 menit.
Dengan bantuan satelit Jerman, "Champ" sejak bulan Juli tahun 2000, para peneliti di GFZ mendapatkan data akurat mengenai perkembangan global medan magnet. Berdasarkan data terakhir, terbukti intensitas medan magnet Bumi sejak tahun 1979 sudah berkurang 1,7 persen. Bahkan di kawasan Atlantik selatan, pengurangan intensitasnya sudah mencapai 10 persen. Perubahan medan magnetik di permukaan Bumi tsb, adalah akibat perubahan dinamika fluida pada inti Bumi. Bahkan diamati, gerakan dinamika inti Bumi tidak hanya berhenti sejenak, bahkan mulai bergerak ke arah berlawanan. Para ahli menduga, akan terjadi pertukaran kutub magnetik Bumi dari Utara ke Selatan.
Para ahli kebumian bahkan sudah melapokan adanya kawasan anomali. Di kawasan tsb, jarum kompas tidak lagi menunjuk arah utara, akan tetapi sebaliknya. Pengamatan selama 20 tahun dari tahun 1980 sampai tahun 2000 menunjukan, semakin meluasnya kawasan yang jarum kompasnya menunjukan arah terbalik tsb. Menurut para peneliti, di kawasan inti Bumi kemungkinan terjadi gerakan yang berlawanan dengan dinamika unsur besi cair. Apa yang disebut antisiklus inilah yang menjadi penyebab jarum kompas menunjuk arah selatan, bukan lagi utara seperti lazimnya.
Lembaga antariksa AS-NASA dan lembaga luar angkasa Eropa-ESA, dewasa ini bekerjasama lebih erat, untuk meneliti perubahan medan magnetik Bumi tsb. Kedua lembaga antariksa terkemuka di dunia itu, meluncurkan berbagai program penelitian cuaca di luar angkasa. Sasarannya untuk dapat meramalkan, kapan terjadinya badai matahari. Ramalan diharapkan dapat ditarik tiga hari sebelum terjadinya bagai. Sebab badai kosmis dari matahari, memerlukan waktu tiga hari untuk mencapai Bumi. Dengan begitu, dapat diambil langkah yang diperlukan, untuk mencegah dampak dari badai kosmis tsb.
Sumber: dw-world.de

Minggu, 15 Februari 2009

Ancaman Itu Datang dari Matahari

Matahari. Sinar dan panasnya tentu begitu penting bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi ini sepanjang masa. Namun, di balik benderangnya benda langit itu tersembunyi ”sisi gelap” yang mengganggu kondisi di bumi, yaitu bintik hitam (sunspot) yang diikuti badai dan flare.

Sebagai pusat peredaran planet-planet di tata surya, matahari merupakan sumber energi bagi makhluk di bumi. Energi itu dihasilkan dari reaksi termonuklir untuk mengubah hidrogen menjadi helium yang terjadi di dekat inti matahari. Suhu di bagian pusat matahari yang terdiri dari gas berkerapatan 100 kali kerapatan air di bumi itu, mencapai 15 juta derajat Celsius.

Di dalam perut matahari terjadi rotasi dan aliran massa atau konveksi yang memengaruhi gaya magnetnya. Pada aktivitas tinggi, gaya magnet ini bisa terpelintir atau berpusar hingga menembus permukaan matahari membentuk ”kaki-kaki”, yang tampak bagai bintik hitam.

Bintik hitam matahari memiliki diameter sekitar 32.000 kilometer, umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian dalam yang disebut umbra, berdiameter 13.000 km atau seukuran diameter rata-rata bumi dan bagian luar disebut penumbra yang garis tengahnya kurang lebih 19.000 km. Suhu penumbra lebih panas dan warnanya lebih cerah dibanding umbra.

Suhu gas yang terbentuk di lapisan fotosfer dan kromosfer di atas kelompok bintik hitam itu naik sekitar 800ยบ Celsius di atas suhu normalnya. Akibatnya, gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan dengan gas di sekelilingnya.

Setelah beberapa hari, pelintiran magnetik ini terpecah menjadi beberapa pelintiran lebih tipis. Masing-masing bergerak melintasi permukaan ke berbagai arah hingga menghilang.

Seperti di bumi, di permukaan matahari pun terjadi badai. Badai matahari terjadi di daerah kromosfer dan korona—berada di atas kawasan munculnya bintik-bintik hitam. Beberapa badai matahari juga muncul ketika terjadi ledakan cahaya atau flare. Ketika flare muncul, terjadi pelepasan sejumlah besar energi. Umumnya, kian banyak bintik hitam terbentuk, maka flare pun makin banyak.

Dampak

Flare yang mengeluarkan partikel kecepatan tinggi dalam badai matahari menyebabkan timbulnya tekanan pada magnetosfer bumi hingga mengakibatkan badai magnetik di bumi. Fenomena ini mengganggu komunikasi radio dan membuat jarum kompas berputar liar di bumi.

Bintik hitam matahari dan flare, menurut Sri Kaloka, Kepala Pusat Pengamatan Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), telah menimbulkan dampak berarti di beberapa wilayah di bumi—terutama di lintang tinggi—karena meningkatnya elektron di lapisan ionosfer. Tahun 1980-an, misalnya, pembangkit listrik di Quebec, Kanada, padam akibat terpengaruh badai matahari.

Gangguan di lapisan ionosfer di ketinggian 60 km-6.000 km dari permukaan bumi ini juga menyebabkan kekacauan dalam penyampaian sinyal komunikasi frekuensi tinggi, yang menggunakan lapisan itu sebagai media pemantul sinyal. Sistem navigasi dengan satelit global positioning system menjadi tidak akurat.

Jumlah bintik hitam yang tampak dari pengamatan dari bumi bervariasi, dari 1-100 titik. Bintik ini butuh waktu 11 tahun untuk mencapai jumlah tertinggi, lalu menurun lagi. Periode ini disebut siklus bintik matahari.

Sri Kaloka mengingatkan, puncak jumlah bintik hitam dapat terjadi lagi tahun 2011. Karena itu, semua pihak yang berkaitan dengan potensi dampak hendaknya mengantisipasi.

Data pemantauan bintik matahari dan flare terpantau di Pusat Pengamatan Dirgantara Lapan di Tanjungsari, Sumedang, sejak stasiun itu beroperasi 1975. Data itu dapat dimanfaatkan semua pihak yang berkepentingan. Hasilnya dikirimkan ke Bank Data di Swiss, urai Sri.

Periode dingin

Dalam kondisi ekstrem, baik tinggi maupun rendah, bintik hitam atau flare memberi dampak buruk bagi kondisi di bumi. Saat ini kejadian bintik hitam, menurut Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Mezak Ratag, justru dalam titik terendah.

Bintik hitam adalah indikator aktivitas matahari. Bila sedikit jumlahnya, energi yang dipancarkan matahari berkurang, yaitu 0,1 persen pada cahaya tampak, tetapi bisa puluhan persen pada ultraviolet. Kejadian bintik matahari bisa berkurang akibat menurunnya aktivitas dinamo matahari, konveksi, dan atau tekanan radiasi dari reaksi nuklir di pusat matahari.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadi anomali aktivitas matahari itu. ”Hanya beberapa hari saja dalam dua tahun terakhir ini terpantau aktivitas bintik matahari,” ujar Mezak. Kondisi permukaan matahari hampir tanpa sunspot dalam beberapa tahun terakhir itu dikhawatirkan mengarah pada minimum Maunder kedua setelah kejadian pendinginan global sekitar tahun 1600-an.

Rendahnya aktivitas matahari berarti berkurangnya suplai panas ke bumi secara rata-rata global dalam skala waktu tahunan— bukan harian atau bulanan. Akan tetapi, pemanasan lokal masih bisa terjadi. Seperti beberapa bulan terakhir, suhu laut di bagian timur agak hangat, urai Mezak.

Berkurangnya suplai energi dari matahari pada bumi menyebabkan berkurangnya pemanasan lautan, berarti pula penguapan air laut yang akan menjadi hujan pun rendah.

Menurunnya suplai energi matahari juga melemahkan monsun. Gerakan angin monsun terjadi karena perbedaan panas antarlautan dan benua berdasarkan posisi garis edar matahari.

Pengaruh matahari ini tidak berkorelasi dengan peningkatan suhu udara beberapa pekan terakhir. Tingginya suhu udara di bumi disebabkan tingginya uap air, tetapi sedikit yang terbentuk menjadi awan, sedangkan matahari sudah di lintang selatan. Cahaya matahari sampai ke permukaan bumi tanpa halangan awan. Namun, inframerah yang dipancarkan ke bumi tertahan uap air sehingga menaikkan suhu. Uap air banyak dari laut.

Itu dijelaskan Mezak selaku Executive Panel Riset Monsun Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada pertemuan WMO di Beijing, Selasa (21/10), berdasarkan laporan sejumlah ilmuwan dari AS, China, dan Australia. Mereka mengatakan, ada tren pelemahan monsun di berbagai tempat di bumi. ”Di Indonesia, kondisi itu mengakibatkan pelemahan monsun rata-rata dalam beberapa tahun terakhir, tetapi variasinya dari tahun ke tahun bisa besar,” tambahnya.

Senin (20/10), Pusat Data Aktivitas Matahari (SIDC) di Belgia menghentikan peringatan ”All Quiet Alert”, karena peneliti di sana mendeteksi adanya aktivitas di matahari. Namun, laporan ini belum final, mengingat banyak pakar astrofisika matahari meyakini perioda aktivitas rendah ini masih akan berlangsung lama hingga berdampak pendinginan global (global cooling).

Pada kondisi belakangan ini, China mengalami musim dingin paling dingin dalam 100 tahun terakhir, Amerika Utara mencatat rekor tinggi salju, Inggris mengalami April terdingin.

Kondisi ini bukan pertama kali ini terjadi. Dari catatan sejarah, tahun 1645-1715 matahari hampir tanpa bintik, aktivitasnya sangat lemah. Pada kurun waktu itu, suhu permukaan global sangat rendah sehingga dinamakan Zaman Es Kecil.islamuda.com